Putra Jaya
Putra Jaya Manusia Biasa

Chaos is Better

| | 4 Min read

Pendekatan mencatat pengetahuan dengan gaya chaos yang lebih jujur pada cara berpikir manusia.

Chaos is Better

Aku teringat pada postingan Mencatat Itu Menyenangkan dan Alasanku Suka Menulis Di Obsidian . Dulu, ada satu fase di mana aku justru lebih sibuk mengorganisir catatan daripada mencatat itu sendiri.

Di postingan kali ini, aku hanya ingin berbagi pengalaman dan cara yang sekarang aku pakai untuk mencatat pengetahuan. Menurutku, cara ini lebih efektif karena fokus pada produktifitas berpikir, bukan kerapihan sistem.

Metode ini efektif untukku, tapi belum tentu cocok untuk semua orang. Kalau tertarik, silakan lanjut membaca. Kalau tidak, boleh di-skip saja 😁.

Tujuan dan Harapan yang Kacau

Apa sebenarnya tujuanmu mencatat? Dan harapan apa yang ingin kamu dapatkan dari catatan itu?

Jika tujuan mencatat hanya sekadar menyimpan informasi dengan target akhir catatan yang rapi dan indah, menurutku metode ini kurang cocok.

Pendekatan yang aku gunakan mirip dengan konsep Zettelkasten, tetapi dengan gaya yang jauh lebih chaos. Aku menyadari bahwa memaksakan catatan harus rapi, terstruktur, dan jelas justru menjadi beban ketika jumlah catatan semakin banyak. Pada akhirnya, aku malah terjebak kebingungan mengelompokkan catatan ke dalam folder-folder tertentu.

Chaos yang aku maksud di sini bukan tanpa arah sama sekali. Aku hanya tidak menggunakan struktur folder yang kompleks. Semua catatan berada dalam satu folder besar. Di awal memang terasa sangat berantakan dan bikin risih 😅, tapi lama-lama justru terasa bebas.

Berpikir Realistis

Aku sempat berpikir bahwa masalah utama bukan soal rapi atau tidaknya catatan, melainkan tujuan catatan itu sendiri.

Apakah catatan ini untuk konsumsi masa depan? Sekadar arsip informasi? Atau hanya untuk meninggalkan jejak pemikiran?

Kalau jawabannya adalah yang terakhir, maka metode chaos ini sangat masuk akal.

1. Berdebat dengan Diri Sendiri

Kasus ini nyata bagiku. Aku pernah menyetujui konsep Murphy’s Law dan menulis catatan seperti ini:


Ya menurutku hukum Murphy itu masuk akal. Aku menyukainya karena penjelasan di Wikipedia cukup sejalan dengan prinsip yang aku pegang.

## Related

- [251230180551_kebenaran_berawal_dari_kesalahan]

## Source

- https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Murphy?wprov=sfla1

Namun, di catatan 251230180551_kebenaran_berawal_dari_kesalahan, aku justru menulis hal yang bertentangan:


Aku kepikiran: kesalahan itu membuat kita sadar akan kebenaran sesungguhnya. Artinya, kemarin aku sempat sejalan dengan konsep hukum Murphy. Tapi di sini justru terasa bertolak belakang: sesuatu yang salah tidak selalu berakhir salah. Kesalahan malah bisa menjadi pemicu kebenaran 🤔

## Related

- [251225181140_hukum_murphy]

Dari sini terlihat bahwa catatan bukan soal konsistensi, tapi proses berpikir.

Alur yang biasa terjadi padaku adalah:

Muncul ide → dicatat → terasa bertentangan atau terkait → di-link

2. Kesulitan Jika Disuruh Menuliskan Ulang

Ini masalah klasik. Setelah membaca satu artikel atau buku, lalu diminta menuliskannya ulang dengan kata-kata sendiri—biasanya malah buntu.

Karena itu, aku jarang menulis ulang konsep teknis seperti pemrograman. Menuliskan ulang konsep memang tidak selalu mudah.

Lalu, apa yang ditulis?

Jawabannya sederhana: apa pun yang muncul di kepala.

Misalnya, tiba-tiba muncul kalimat di pikiranku:

Menurutku kejujuran itu penting, walaupun menyakitkan.

Walaupun singkat dan mentah, aku tetap menuliskannya. Ajaibnya, setelah itu muncul ide lanjutan:

Kebohongan adalah beban besar, karena kita dituntut untuk terus mempertahankannya, yang sering kali justru memicu kebohongan lain.

Keduanya saling related. Tinggal ditautkan, dan proses berpikir berlanjut.

3. Manfaatkan Search, Graph View, dan Tagging

Satu alasan umum mengapa orang ingin catatan rapi adalah supaya mudah dicari. Tapi di sini aku sempat bertanya pada diriku sendiri: apakah aku pelupa?

Contohnya, catatan tentang hukum Murphy itu sudah lama aku tulis. Tanpa membaca ulang pun, aku masih ingat konteksnya sampai sekarang 😅.

Tentu saja, tidak semua ide akan diingat 100%. Di sinilah fitur alat bantu berperan.

Nanti sulit dong kalau mau mencari catatan tertentu?

Di Obsidian, ada search engine yang kuat, graph view untuk melihat keterkaitan ide, dan sistem tagging untuk mengelompokkan topik relevan. Dengan memanfaatkan fitur-fitur ini, kerapihan manual menjadi jauh kurang penting.

Kesimpulan

Beberapa hal yang bisa aku simpulkan:

1. Mencatat Bukan Tekanan

Nilai penting dalam proses belajar adalah rasa suka, semangat, dan kenyamanan. Metode apa pun akan terasa cocok jika ketiga aspek ini terpenuhi.

Jangan ragu bereksperimen sampai menemukan metode yang paling sesuai.

Aku sendiri nyaman dengan sistem chaos ini, maka aku terus menggunakannya.

2. Tujuan dan Harapan

Tujuan dan harapan memang bisa menambah motivasi. Namun, penting untuk tidak berekspektasi terlalu tinggi.

Tetapkan tujuan yang realistis—biasanya yang sederhana dan mudah dicapai justru lebih berkelanjutan.

Penutup

Tulisan ini murni pengalaman pribadiku sebagai manusia dengan banyak keterbatasan. Metode yang aku gunakan mungkin tidak cocok atau tidak bisa diterima oleh banyak orang.

Pada akhirnya, semua kembali pada kebutuhan dan keputusan masing-masing individu.

Terima kasih sudah membaca 😊.


Postingan Menarik Lainnya