Masputrawae

Dari Mau Nangis Kejebak Vim Sampai Jadi Pecandu Berat

| | 3 Min read

Cerita pengalaman pribadi soal alasanku menyukai vim, keluh kesah, dan kenapa tidak menggunakan vim lagi

Image

Cerita bermula di awal tahun 2022 (seingatku 😅). Waktu itu aku terpaksa mencoba Linux Debian, dan justru menginstal versi minimal—tanpa DE (desktop environment). Biasanya aku selalu mengandalkan nano sebagai teks editor CLI yang lebih friendly. Tapi entah kenapa, bukannya menginstal nano, aku malah iseng mengetik vi .bashrc (karena katanya bawaan Linux pasti ada vi / vim jadul) hanya untuk setting konfigurasi dikit.

Fase Frustasi Bagian 1

Hal pertama yang bikin frustasi adalah: gimana cara aku nulis? Dulu aku nggak tahu kalau vim itu punya 3 mode. Alhasil aku asal pencet semua tombol keyboard, dan entah kena tombol apa, tiba-tiba masuk ke mode insert. Nah, mulai deh ngetik manja di situ.

Fase Frustasi Bagian 2

Masalah berikutnya muncul setelah aku selesai nulis sedikit konfigurasi. Aku nggak tahu cara menyimpan dan keluar dari vim. Udah tekan tombol ESC, CTRL + C, dan lainnya 😅. Jujur saat itu aku mau nangis.

Mau buka browser pun nggak bisa—lagi nggak punya ponsel, dan PC juga udah kepake buat Debian itu. Intinya aku kejebak di vim. Langkah terakhir yang akhirnya aku lakukan adalah… restart PC 😅. Sejak saat itu, aku kapok pakai vim.

Vim Quite Meme

Sampai Saat Adrenalin Ku Terpacu Lagi

Beberapa bulan setelahnya, aku pakai Ubuntu yang lebih friendly. Pas lagi belajar Python, aku mulai bosan dan kepikiran coba vim lagi—tapi dengan pendekatan agak memaksa: aku wajib uninstall VSCode 😁.

Logikanya, kalau VSCode hilang, aku bakal dipaksa pakai vim. Dan benar aja. Hampir 1 bulan aku ngulik vim tiap hari, membiasakan diri untuk nggak pakai mouse. Namun ada satu momen lucu: ketika aku mencari cara keluar dari vim, banyak artikel bilang cukup ketik :q, :w, atau :wq.

Tapi lucunya… aku nggak sadar soal simbol :. Jadi tetap aja nggak bisa keluar, karena aku cuma ngetik q, w, wq biasa—tanpa pencet : dulu 😅.

Setelah Masalah Terpecahkan

Setelah itu, aku mulai percaya diri 😅. Rasanya kayak sudah jadi master vim 🤣. Dan itulah momen di mana semangatku makin gila. Setiap hari senam di vim: nulis catatan, ngoding, sampai nulis todo.

Pada satu titik, aku merasa sudah cukup terbiasa. Shortcut dasar seperti wq, navigasi h j k l, mode i, v, / untuk search, dan beberapa lainnya sudah mulai otomatis. Tapi kepuasan itu sempat turun karena di vim biasa aku nggak dapat sidebar untuk navigasi file dan folder.

Kenalan Dengan NeoVim

Saat lagi browsing, aku nemu alternatif vim yang lebih modern: NeoVim. Disebut modern karena tampilannya lebih enak, plugin mudah dipakai, ada auto-complete, dan masih banyak lagi. Hampir setara dengan VSCode menurutku. Dan ya, aku iseng coba juga.

Dan ya… nggak perlu dijelasin panjang: inti ceritanya nggak ada yang menarik 😁. Tapi NeoVim jelas lebih modern—dan itu yang aku suka 😁.

Kesimpulan

🤔 Nggak ada sih 😁. Intinya sampai sekarang aku masih suka pakai vim. Bukan karena sederhana atau cepat, atau alasan umum lainnya, tapi karena udah terbiasa banget. Nulis apa pun pakai vim tuh sudah di luar kepala. Alhasil pas pindah ke VSCode, aku malah sering salah ketik—untung ada plugin vim di VSCode.