Putra Jaya
Putra Jaya Manusia Biasa

Kebisingan, Izin, dan Etika Hidup Bermasyarakat

| | 2 Min read

Lanjutan refleksi tentang hajatan, kebisingan, dan batas kenyamanan bersama.

Kebisingan, Izin, dan Etika Hidup Bermasyarakat

Tulisan ini adalah lanjutan dari postinganku sebelumnya, Fomo Hajatan Pernikahan di Desaku . Jika di tulisan sebelumnya aku lebih banyak membahas fenomena dan kebiasaan, kali ini aku ingin menyoroti hal yang sering luput dibicarakan: etika, aturan, dan hukum soal kebisingan.

Di postingan sebelumnya1, aku sudah menyinggung bahwa secara hukum sebenarnya sudah ada aturan yang mengatur batas kebisingan, baik dari undang-undang maupun peraturan daerah. Namun entah kenapa, di desaku, aturan semacam ini sering dianggap tidak ada atau bahkan tidak tahu.

Aku sempat berdiskusi dengan keluarga di rumah. Katanya, penyelenggara hajatan sudah “mengantongi izin dari pihak berwenang”. Tapi izinnya izin apa?
Apakah izin sekadar boleh menyelenggarakan acara, atau izin yang tetap mewajibkan patuh pada batas kebisingan, durasi waktu, dan kenyamanan warga sekitar?

Karena faktanya, kebisingan itu nyata. Setiap ada hajatan, suara bass masih terasa berlebihan. Plafon rumah bergetar, kaca jendela ikut bergetar. Ini bukan sekadar “ramai”, tapi sudah masuk wilayah mengganggu.

Soal durasi juga sama. Apakah ada aturan jelas yang ditegakkan? Sepertinya tidak. Seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya1, hajatan di sini biasanya berlangsung tiga hari tiga malam. Istirahat hanya sebentar saat adzan atau waktu salat, lalu lanjut lagi. Bahkan malam hari pun sering lewat dari jam 10.

Pertanyaannya sederhana:
Apakah kondisi seperti ini masih bisa dianggap wajar?

Aku ingin menegaskan satu hal. Aku tidak pernah melarang orang membuat acara—entah hajatan, pernikahan, atau acara apapun. Tapi kita hidup bermasyarakat. Kita tidak hidup di hutan tanpa aturan, tanpa kepemimpinan, dan tanpa pemerintahan.

Menghormati kenyamanan orang lain bukanlah hal yang berlebihan. Itu justru bentuk paling dasar dari hidup bersama.

Aturan dan hukum tidak dibuat untuk mempersulit kehidupan. Aturan dibuat agar setiap orang punya hak yang sama atas ketenangan, keadilan, dan kesejahteraan. Jika aturan selalu dikalahkan oleh kebiasaan, maka yang dikorbankan adalah mereka yang memilih diam.

Tulisan ini bukan ajakan untuk melarang, bukan pula untuk menyudutkan. Ini hanya pengingat:
bahwa kebebasan kita berhenti ketika mulai mengganggu orang lain.

Postingan Menarik Lainnya

Referensi