Fomo Hajatan Pernikahan di Desaku
Mungkin tulisan ini lebih ke analisis dan pemikiran pribadi dari seorang anak desa yang lahir dan besar di lingkungan semacam ini. Ada satu hal yang sampai sekarang masih bikin aku heran: hajatan, terutama pernikahan. Bukan karena aku benci atau tidak suka, bukan. Tapi ada beberapa hal yang menurutku perlu dibahas.
1. Aturan dan Gangguan
Hal pertama yang bikin aku sedih adalah soal aturan, terutama soal sound system. Jujur, suara musiknya itu benar-benar mengganggu. Yang jadi masalah, banyak orang tidak tahu — atau mungkin tidak peduli — batas kebisingan yang sebenarnya diatur sama perda atau aturan pemerintah. Akhirnya suara bass dari subwoofer bisa bikin kaca dan plafon rumah bergetar semua.
Yang bikin tambah stres, hajatan di desaku itu jarang cuma sehari. Rata-rata tiga hari. Dari jam 8 pagi sampai siang, istirahat sebentar banget habis adzan, lanjut lagi sampai sore, dan malam bisa sampai jam 10.
Secara aturan, ini sebenarnya udah melanggar banget. Tapi apa daya, kebanyakan orang memilih diam. Dan karena semua orang diam, kegiatan yang mengganggu begini jadi dianggap wajar.
Sumber Eksternal
Mungkin kalau belum tahu, aku ada beberapa sumber yang membahas soal aturan ini
- https://www.detikabar.com/2025/09/aturan-lengkap-sound-horeg-batas.html
- https://www.kompas.com/jawa-timur/read/2025/08/09/214537188/resmi-ini-aturan-baru-sound-horeg-di-jatim-pelanggar-bisa-ditindak
- https://blog.sonicline.co.id/patuhi-aturan-kebisingan-agar-acara-tidak-dibubarkan/
2. Efisiensi dan Produktivitas
Di catatan sebelumnya soal Kebutuhan vs Keinginan , aku sudah bahas gimana pentingnya tahu mana yang benar-benar perlu dan mana yang cuma keinginan semata. Menurutku pribadi, daripada uang habis untuk hajatan besar, kenapa nggak dipakai untuk hal yang lebih bermanfaat? Misalnya modal usaha, investasi, atau keperluan jangka panjang lain yang bisa bikin hidup lebih stabil ke depannya.
Pernikahan itu tujuannya menikah, bukan pestanya. Di KUA, biaya nikah di daerahku murah banget — paling mahal nggak sampai 200 ribu. Yang mahal itu justru hajatannya.
Kalau seseorang benar-benar mempertimbangkan kebutuhan vs keinginan, sebenarnya menikah di KUA saja sudah cukup. Surat nikah dapat, sah di mata negara, dan nggak perlu buang uang untuk kesenangan sesaat. Boleh pesta kalau mampu, tapi jangan sampai maksa diri.
3. Wajib Sumbangan
Ini sebenarnya nggak wajib sama sekali. Tapi di masyarakat sini, kalau tidak menyumbang, sering dianggap nggak baik atau nggak peduli. Jadi kalau dapat undangan, seolah-olah otomatis harus datang dan harus nyumbang.
Nggak masalah kalau finansial stabil. Yang jadi masalah, aku lihat sendiri ada orang yang sampai pinjam uang hanya untuk “menjalankan kewajiban sosial” ini. Ini kan jadi beban buat dirinya sendiri.
Sumbangan itu boleh. Bagus malah kalau ikhlas. Tapi jangan sampai memaksakan diri hanya karena takut stigma masyarakat. Semua orang punya kondisi berbeda, dan budaya timbal balik seperti ini tidak selalu bisa dilakukan oleh semua orang tanpa pengorbanan.
4. Gotong Royong
Ini hal yang aku suka, dan aku sama sekali tidak melarang atau menentang orang membantu tetangganya. Tapi uniknya, banyak yang membantu tanpa tahu batas. Contohnya di keluargaku sendiri: ada anggota keluarga yang memutuskan membantu, tapi bukan 3–4 jam. Bukan. Melainkan 3 hari 3 malam.
Membantu itu mulia, tapi kita juga punya kewajiban dan kebutuhan di rumah sendiri. Kadang aku merasa sedih melihat bagaimana sistem gotong royong di desa bisa “kebablasan” sampai orang lupa batas dirinya sendiri.
Kesimpulan
Menurutku, hajatan pernikahan itu nggak ada masalah sama sekali. Yang penting mempertimbangkan beberapa hal berikut:
- Aturan dan kenyamanan warga sekitar — Jangan sampai mengganggu aktivitas orang lain. Hargai aturan yang berlaku.
- Cari kebahagiaan dengan cara yang lebih sehat dan berjangka panjang — Hidup setelah menikah itu nggak mudah. Lebih baik gunakan dana untuk hal-hal yang bisa bantu kita survive di masa depan.
- Menyumbang itu baik — Tapi lihat kondisi diri dulu. Jangan memaksakan diri kalau memang sedang sulit.
- Gotong royong itu penting — Tapi tetap ada batas dan tanggung jawab utama di keluarga sendiri.
Tulisan ini aku buat berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lingkungan tempatku tinggal. Di tempat lain mungkin beda. Dan aku sama sekali tidak bermaksud menyindir siapapun. Semua orang bebas menentukan pilihannya masing-masing.
Terima kasih sudah membaca.